PEKANBARU,shaliriaulestari.com,-Pembakaran batu bara pada fasilitas PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap)  ataupun pada kegiatan yang menggunakan tungku industry (Stocker boiler), akanmenghasilkan material-material  terbang (fly ash) dan terendapkan (bottom ash). Fly ash dan bottom ash ini tampak  seperti debu halus atau pasir halus, mirip dengan produk sejenis  volkanik atau gunung api. Selama ini telah terjadi pro-kontra di tengah masyarakat tentang limbah batubara ini, satu pihal mengatakan sebagai limbah B3 yang berbahaya dan pada pihak lain dipandang sebagai sesuatu yang bisa bermanfaat.

Pemerintah selama ini Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dianggap sebagai limbah B3, namun sejak  2 Februari 2021  Presiden Joko Widodo  resmi mencabut FABA dari daftar limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Limbah FABA ini justru bernilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk penunjang infrastruktur, seperti bahan baku pembuatan jalan, conblock, semen, hingga bahan baku pupuk.

Keputusan pemerintah yang menetapkan fly ash dan bottom ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada PLTU dan pabrik sawit menjadi kategori bukan bahan berbahaya dan beracun (non-B3) merupakan langkah yang tepat.

Saat ini tidak satu pun negara yang mengategorikan limbah batu bara dan sawit sebagai B3, jadi aneh jika limbah itu tidak dimanfaatkan. Komposisi dari limbah FABA ini sudah dianalisis dan  tidak ada yang berbahaya.

Limbah FABA akan menjadi bahaya ketika tidak digunakan atau ditumpuk dalam jumlah banyak. Kerugian besar jika limbah itu tidak digunakan Indonesia harus meniru negara maju dalam mengelola FABA.  Negara seperti Vietnam, Jepang dan Cina telah memanfaatkan FABA sebagai sesuatu yang memiliki harga.  Di Jepang, Bendungan Fukushima itu bahan bakunya dari limbah batu bara. Sejumlah perusahaan batu bara, termasuk perusahaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) telah melakukan kajian tentang pemanfaatan FABA yang menyatakan bahwa bahan baku dari FABA aman digunakan.

Di PLTU Tanjung Jati B yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, limbah FABA diolah menjadi batako, paving dan beton pracetak. Hasil olahan dari limbah FABA itu dimanfaatkan untuk merenovasi rumah di sekitar PLTU Tanjung Jati B. Kemudian di PLTU Asam Asam memanfaatkan FABA sebagai road base alias lapisan jalan dalam pembuatan akses jalan. PLTU Suralaya memanfaatkan FABA sebagai bahan baku batako dan bahan baku di industri semen. Sementara, PLTU Ombilin memanfaatkan FABA menjadi campuran pupuk silika.

Namun dengan kebijakan baru pemerintah, pengelolaan FABA kini bisa lebih mudah karena lagi tidak memerlukan dokumen Amdal. PLTU harus selalu mencari tanah kosong yang baru untuk limbah agar tidak tertimbun tinggi. Sementara untuk mengelola FABA dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga 400 jutaan, disinilah timbulnya praktik mafia. FABA mengandung banyak silika. Di Jepang itu adalah pupuk sekunder yang dipakai untuk tanaman padi, kelapa sawit, dan sebagainya.

FABA dikategorikan menjadi Non-B3 sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan hasil uji laboratorium independen atas toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) yang sampelnya berasal dari beberapa PLTU, FABA yang dihasilkan tidak mengandung unsur yang membahayakan lingkungan.

Penulis : Marta Emmelia (CEO PT Shali Riau Lestari)